Pada masa itu wilayah Tatar Ukur kedatangan seorang Dipati Ukur atau Wangsanata (1625-1629), yang disebut-sebut berasal dari Kerajaan Jambu Karang Purbalingga (sekarang Banyumas, Jateng).
Wilayah Kabupaten Bandung termasuk wilayah Priangan yang terkenal keindahan alamnya. Tak heran jika pemerintah Hindia Belanda menyebutnya dengan sebutan Negorij Bandong atau West Oejoeng Broeng.
Pada tahun 1641, Juliaen de Silva melaporkan bahwa ada sebuah negeri yang bernama Bandong terdiri atas 25 hingga 30 rumah.
Negeri itu oleh Belanda lebih dikenal dengan nama "Negorij Bandong" atau "West Oedjoeng Broeng". Sedangkan oleh penduduk pribumi, wilayah ini disebut dengan nama "Tatar Ukur". Pada saat itu, daerah Tatar Bandung masih berupa hutan rimba yang cukup lebat. Beberapa danau masih menggenangi sebagian tempat di kota Bandung, sedangkan selebihnya masih berupa rawa.
Pada tahun 1641, Juliaen de Silva melaporkan bahwa ada sebuah negeri yang bernama Bandong terdiri atas 25 hingga 30 rumah.
Negeri itu oleh Belanda lebih dikenal dengan nama "Negorij Bandong" atau "West Oedjoeng Broeng". Sedangkan oleh penduduk pribumi, wilayah ini disebut dengan nama "Tatar Ukur". Pada saat itu, daerah Tatar Bandung masih berupa hutan rimba yang cukup lebat. Beberapa danau masih menggenangi sebagian tempat di kota Bandung, sedangkan selebihnya masih berupa rawa.
Wangsanata datang ke Tatar Ukur karena terusir dari tanah kelahirannya. Kala itu Tatar Ukur di bawah kekuasaan Dipati Ukur Agung. Kedatangan Wangsanata disambut baik oleh Dipati Ukur Agung. Terlebih Wangsanata ini mempunyai pengetahuan keIslaman yang cukup kuat, sehingga menjadi kepercayaan Adipati Ukur. Ini ditandai dengan dinikahkannya Wangsanata pada putri Nyie Ageng Ukur. Tidak lama kemudian, Wangsanata dinobatkan menjadi Dipati Ukur atas persetujuan penguasa Mataram.
Sepak terjang Dipati Ukur terbilang “nyongcolang” (Menonjol), ketika melakukan penyerangan ke markas VOC di Batavia (Jakarta) atas perintah Sultan Agung Mataram.Namun, penyerangan ini berakhir sia-sia karena jumlah musuh yang sangat banyak dibanding pasukan Dipati Ukur.
Meski begitu, mundurnya pasukan Dipati Ukur memunculkan isu yang tak sedap dan Dipati Ukur dianggap baha ka raja (Berkhianat) sehingga dihukum mati oleh Sultan Agung Mataram. Versi lain menyebutkan, Dipati Ukur memilih menjadi pandita dan makamnya di sebuah bukit di daerah Banjaran (Ada beberapa versi mengenai makam Dipati Ukur ini).
Meski begitu, mundurnya pasukan Dipati Ukur memunculkan isu yang tak sedap dan Dipati Ukur dianggap baha ka raja (Berkhianat) sehingga dihukum mati oleh Sultan Agung Mataram. Versi lain menyebutkan, Dipati Ukur memilih menjadi pandita dan makamnya di sebuah bukit di daerah Banjaran (Ada beberapa versi mengenai makam Dipati Ukur ini).
Mundurnya Dipati Ukur mengakibatkan kekosongan kekuasaan di Tatar Ukur. Hal itu ditanggapi oleh Sultan Agung Mataram yang kemudian menerbitkan surat keputusan atau serat piyagem yang ditulis pada hari Sabtu tanggal 9 Muharam tahun Alif atau tanggal 20 April 1641. Kemudian tanggal itulah yang kini ditetapkan sebagai hari jadi Kabupaten Bandung hingga sekarang.
Dalam surat keputusan tersebut mengatur pula pembagian wilayah pemerintahan kabupaten. Surat keputusan itu mengangkat Tumenggung Wiradadaha menjadi Mantri Agung (Bupati) Sukapura, Tumenggung Wiraangun Angun menjadi Bupati Bandung, dan Tumenggung Tanubaya menjadi Bupati Parakan Muncang.
Selama satu abad, wilayah Tatar Ukur tidak tersentuh oleh Belanda. Namun pada tahun 1741 datang seorang serdadu Belanda, yakni Kopral Arie Top dengan jabatan in de functies van plaatselijk militair commandant (Baca juga:"Paradise in Exile"). Disebutkan,Kopral Arie Top menjadi orang Belanda pertama yang menetap di Tatar Bandung (Bandoenger).
Untuk menjalankan pemerintahannya, Tumenggung Wiraangun Angun mendirikan pusat pemerintahan di Krapyak, sebuah daerah di tepian Sungai Citarik yang bermuara ke Sungai Citarum. Pada saat itu, Krapyak disebut Bumi Ukur Gede,dan pada masa sekarang Krapyak berganti nama menjadi Citeureup yang berada di wilayah Kecamatan Dayeuhkolot atau Oude Negorij (Belanda, red) dengan jumlah penduduk sekitar 200 jiwa.
Perintah Deandels
Pada masa pemerintahan Bupati Wiranatakusumah II (1794-1829), pusat pemerintahan Kabupaten Bandung dipindahkan dari Krapyak ke daerah tepianSungai Cikapundung (Alun-alun Bandung). Pemindahan ini atas perintah Gubernur Jenderal Hindia Belanda,
Herman Willem Deandels atau Mas Galak atauToean Goentoer. Pemindahan pusat pemerintahan ini untuk mendukung pembuatan jalan raya pos (grote postweg) dari Anyer sampai Panarukan, untuk memperkuat pertahanan Belanda di Pulau Jawa.
Herman Willem Deandels atau Mas Galak atauToean Goentoer. Pemindahan pusat pemerintahan ini untuk mendukung pembuatan jalan raya pos (grote postweg) dari Anyer sampai Panarukan, untuk memperkuat pertahanan Belanda di Pulau Jawa.
Aktivitas pembangunan di Kabupaten Bandung mulai terasa saat jabatan Bupati R.A.A. Martanegara (1893-1918). Bupati yang dikenal sastrawan ini sangat prihatin dengan kondisi lingkungan yang ada pada saat itu. Yang paling menonjol, Bupati Martanegara membangun kantor perusahaan Eropa, bank, dan pertokoan. Selain itu, membenahi daerah seputar Jalan. Braga hingga dikenal sebagai De meest Europeesche Winkelstraat van Indie (daerah pertokoan yang paling terkemuka di Hindia).
(dari berbagai sumber)
0 komentar:
Posting Komentar